Jumat, 28 Maret 2008

Perintah dan Ajakan

Oleh: A. Mustofa Bisri

Kata amar yang berasal dari bahasa Arab sama artinya dengan perintah. Perintah ialah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu. Baik dalam kata amar maupun padanannya (perintah), kita merasakan adanya nuansa paksaan atau keharusan. Berbeda dengan ajakan yang ‘hanya’ berarti undangan; anjuran, atau permintaan supaya berbuat.
Ajakan lebih menyiratkan kelembutan. Sering kali, bahkan bernuansa ‘merayu’ seperti yang sering diperlihatkan suami terhadap isteri yang dicintainya atau sebaliknya. Tapi, banyak juga yang mengacaukan antara ajakan dan perintah sebagaimana yang sering dilakukan oleh kebanyakan calo terminal.

Di terminal, kita banyak menjumpai calo-calo yang menawarkan ‘busnya’ kepada calon-calon penumpang. Umumnya, dengan menyampaikan kelebihan dan keistimewaan bus yang ditawarkannya. Tapi, ada saja calo yang begitu bersemangat, sehingga kesannya bukan mengajak, tapi memaksa.

Berbicara tentang perintah dan ajakan, kita teringat kepada dua istilah yang sangat populer di kalangan kaum muslimin; yaitu dakwah dan amar makruf nahi munkar. Selama ini, umum menganggap kedua istilah itu sama. Padahal, minimal dari segi pengertian bahasa, keduanya berbeda seperti halnya perintah dan ajakan tadi.

Di dalam al-Quran sendiri, kedua istilah itu sering digunakan. Kita pisahkan dulu istilah dakwah yang digunakan dengan pengertian doa dan menyeru yang juga banyak digunakan dalam al-Quran. Karena kita hanya sedang membicarakan dakwah-atau dalam bahasa Indonesia, dakwah-yang berarti ajakan dan sering disamakan dengan amar makruf nahi munkar.

Ayat yang sering disebut-sebut sebagai dalilnya dakwah ialah ayat 125 surah 16. al-Nahl, “Ud’u ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanati wajaadilhum billatii hiya ahsan. Inna Rabbaka Huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi, waHuwa a’lamu bilmuhtadiin.” (Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui mereka yang mendapat petunjuk).

Dalam kalimat “Ajaklah ke jalan Tuhanmu…”, tidak disebutkan objeknya. Siapa yang harus diajak? Maka, dalam Al-Quran dan Terjemahannya, diberi tambahan dalam kurung (manusia) dan dalam beberapa kitab tafsir, diberi penjelasan bahwa yang diajak adalah mereka menjadi sasaran dakwah. Saya sendiri berpendapat bahwa kalimat ini memang tidak membutuhkan objek. Karena rangkaian kalimatnya sudah menunjukkan siapa yang harus diajak. Dari firman “Ajaklah ke jalan Tuhanmu”, sudah jelas siapa yang mesti diajak, yaitu mereka yang belum di jalan Tuhan.

Karena mengajak mereka yang belum di jalan Tuhan, maka-wallahu a’lam-diperlukan cara yang sesuai dengan yang namanya ajakan, dengan hikmah dan mau’idhah hasanah. Apabila mesti berbantah, hendaklah dengan cara yang paling baik. (Maka, kecenderungan melibas mereka yang belum/tidak di jalan Tuhan, sama halnya dengan menghendaki tidak difungsikannya ayat dakwah ini). Bahkan, untuk mendakwahi Firaun pun, Allah berfirman kepada kedua utusan-Nya, Nabi Musa dan Nabi Harun, “Faquulaa lahu qaulan layyinan…” (Q. 20: 44) “Dan berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut…”

Kiranya, dengan cara yang diajarkan Tuhannya inilah, Nabi Muhammad SAW sukses dalam dakwahnya. Dan untuk konteks Indonesia, cara ini pulalah kiranya yang menyebabkan dakwah Para Walisongo berhasil.

Lalu, bagaimana dengan amar-ma’ruf nahi ‘anil-munkar yang bernuansa lebih ‘keras’? Amar-ma’ruf nahi ‘an al-munkar (seharusnya) merupakan ciri komunitas orang-orang mukmin yang tentu saja sudah berada di jalan Allah. (Baca misalnya, Q. 3: 110, 114; 9: 71). Dalam bahasa al-Quran, mereka satu sama lain adalah waliy (dalam bahasa Jawa, saya mengartikan waliy dengan bala, kebalikan dari musuh). Di dalam komunitas seperti ini, perintah berbuat makruf dan larangan berbuat kemungkaran merupakan keniscayaan. Sebab, mereka semua ada di satu jalan dan menuju satu tujuan. Jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan bersama. Kalau boleh kita urutkan, pertama-tama dakwah, kemudian amar makruf nahi munkar. Wallahu a’lam bishshawaab.

Konsep Umat dalam Islam

oleh: Fariky el-Bahry

A. Pendahuluan
Dalam al-Qur’an, istilah ummah disebut sebanyak 64 kali dalam 24 surat. Dalam frekuensi sebanyak itu, ummah mengandung sejumlah arti, seperti bangsa, masyarakat atau kelompok masyarakat, agama atau kelompok keagamaan, waktu atau jangka waktu, juga pemimpin atau sinonim dengan imam.
W. Montgomery Watt dalam bukunya Muhammad at Madina (1956, 1972) banyak membahas tentang ummah, hal ini mengundang ‘Ali Syari’ati untuk membahas istilah ummah secara sosiologis dan epistemologis. Sudah tentu ia bukan membahas itilah ummah itu lantaran Watt, melainkan dalam rangka menjelaskan aspek penting dalam ideologi syi’ah, yaitu keharausan adanya imamah dalam ummah, dalam bukunya al-Ummah wa al-Imamah. Analisis Watt hanyalah dijadikan titik tolak oleh Syari’ati, karena Watt mengajukan pertanyaan ilmiah yang tepat dalam memulai suatu diskusi ilmiah, seperti diuraikan kembali oleh Syari’ati, yaitu, “Sesungguhnya manusia, sepanjang sejarah dan di bumi manapun, hidup berkelompok. Maka, apakah nama yang diberikan kepada kelompok manusia ini, yang mereka buat dan di dalamnya mereka hidup?” Selanjutnya, “Sesungguhnya, nama yang dibataskan untuk suatu kelompok dapat mengungkapkan pandangan kelompok itu, gambarannya tentang hidup bermasyarakat dan diketahuinya secara jelas, mengapa manusia berkelompok.”
Dalam membahas istilah ummah, Syari’ati merasa perlu berbicara dalam konteks dan spectrum pengertian yang berlaku tentang istilah-istilah yang baku, misalnya, nation, people, race, mass, dan (social) class. Ummah adalah pengganti dari semua kata itu. Ummah bagi Syari’ati, mengandung pengertian baru. Ia berasal dari kata amma yang berarti “berniat” dan “menuju.” Ini berkaitan juga dengan kata amam yang artinya di muka, sebagai lawan dari kata wara atau khalf, artinya belakang. Dari situ ia menarik tiga arti: gerakan, tujuan dan ketetapan kesadaran.
Dalam amma, tercakup pengertian taqaddum atau kemajuan, sehingga ia menarik 4 makna lagi, yaitu: ikhtiar, gerakan, kemajuan, dan tujuan. Atas dasar itu dan melalui perbandingan dengan istilah lain, Syari’ati menyimpulkan bahwa “Islam tidak menganggap hubungan darah, tanah, perkumpulan atau kesamaan tujuan, pekerjaan dan alat produksi, ras, indicator sosial, jalan hidup, sebagai ikatan dasar yang suci antara individu-individu manusia.”
Bagi Syari’ati, yang menyatukan ummah adalah “perjalanan” yang bersama-sama ditempuh sekelompok manusia. Atau, dalam definisinya, ummah adalah ungkapan pengertian tentang “kumpulan orang, dimana setiap inidividu sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing saling membantu agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan, atas dasar kepemimpinan yang sama.” Disinilah Syari’ati memasukan pengertian tentang keharusan adanya imamah dalam definisi ummah, dimana imamah adalah “ungkapan tentang pemberian petunjuk kepada ummah ke tujuan itu.” Sehingga Syari’ati memberi kesimpulan, ”tidak ada sebutan ummah tanpa adanya imamah.”


B. Beberapa Ayat yang berkaitan dengan Umah dan Tafsirnya
Dalam buku Konkoridansi al-Qur’an ditemukan kata ummah di dalam berbgai bentuknya.
1. Umaman ditemukan pada 2 tempat : 7:160, 7:168
2. Umami, umamin, umamun, ditemukan pada 11 tempat : 6:42, 7:32, 11:48, 16:63, 35:42, 41:25, 46:18, 6:38, 11,48, 13:30, 29:18.
3. Ummahtihim, ummahatihum, ditemukan di 3 tempat: 58:2, 33:6, 58:2
4. Ummahatikum , ummahatukum , ditemukan di 7 tempat: 16:78, 24:61, 33:4, 39: 6, 53:32, 4:23, 4:23.
5. Ummatan , ummatin , ummatun, ditemukan sebanyak 49 tempat: 2:128, 2:143, 2:213, 5:48, 10:19, 11:118, 16:93, 16:120, 21:92, 23:44, 23:52, 28:23, 42:8, 43:33, 3:110, 4:41, 6:108, 7:34, 10:47, 10:49, 11:8, 12:45, 13:30, 15:5, 16:36, 16:84, 16:89, 16:92, 22:34, 22:67, 23:43, 27:83, 28:75, 35:24, 40:5, 43:22, 43:23, 45:28, 45:28, 2:134, 2:141, 3:104, 3:113, 5:66, 7:38, 7:159, 7:164, 7:181, 16:92.
6. Ummatukum, ditemukan di 2 tempat: 21:92, 23:52.

Karena keterbatasan penulis, dalam makalah ini tidak membahas keseluruhan ayat-ayat yang disebutkan di atas, dan hanya membahas beberapa ayat-ayat pilihan saja.

Al-An’am ayat 38
"Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan."

Dalam buku Wawasan al-Qur’an, M. Quraish Shihab mengomentari ayat di atas, terlihat bahwa al-Qur’an tidak membatasi pengertian umat hanya pada kelompok manusia saja. Demikian pula ditegaskan oleh hadits:
النمل أمة من الامـم (رواه مسـلم)
Semut (juga) merupakan umat dari umat-umat (Tuhan)

لو كان أن الكلاب أمـة من الامـم لأمرت بقـتلها (رواه أبو داود و الترمذى)
Seandainya anjing-anjing bukan umat dari umat-umat (Tuhan) niscaya saya perintahkan untuk dibunuh

Quraish Shihab menambahkan, bahwa keumuman umat pun bukan hanya terbatas pada hanya manusia yang taat beragama saja, karena dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa Rasul saw. bersabda:
كـل أمتي يدخلون الجنة الآ من ابى,قيل من يأبي يا رسول الله؟ قال: من اطاعني دخل الجنة ومن عطاني فقد أبى (رواه البخاري عن ابي هريرة)
“Semua umatku masuk surga kecuali yang enggan.” Beliau ditanyai, “siapa yang enggan itu ya Rasulullah?” Dijawabnya, “Siapa yang taat kepadaku dia akan masuk surga, dan yang durhaka ia telah enggan”

Al-A’raf ayat 34

"Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya."
Arti ajal adalah janji, atau ketentuan ataupun batas. Ada hubungannya dengan takdir.
Dalam Tafsirnya, HAMKA menerangkan tentang arti hidup sebuah ummat. Ia menulis,
Manusia seorang hidup karena nyawanya. Habis nyawa diapun mati. Adapun hidup suatu umat ialah dinyawai oleh nilai hidup umat itu sendiri, oleh naik atau runtuh akhlaknya. Baginya dibuka kesempatan berhias, mencari nikmat dan karunia Allah...

HAMKA pun menganalogikan umat dengan sebuah tubuh, yang bisa saja sehat ataupun sakit. Sehatnya umat jika nilai hidup umat itu sesuai dengan aturan-aturan Allah, dan sakitnya umat datang jika nilai hidup yang berlandaskan nila-nilai tuhan telah ditinggalkan. Agar umat tetap sehat maka harus selalu ada doker yang menjaga kesehatannya, adapun dokter dari umat adalah para Ahli Fikir, Filusuf, dan para pendidik.
Jika umat dibiarkan sakit tanpa ada yang mengobati, maka pastilah umat itu akan binasa. Demikian HAMKA menerangkan bahwa Allah mengatur ajal itupun memakai sabab musabab.

Al-Maidah ayat 48

"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,"

Dalam Tafsirnya, HAMKA menjelaskan awal ayat yang membicarakan tentang syariat Allah dari masa ke masa, dari sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w.. Jadi perandaian Allah s.w.t. akan menjadikan satu umat saja adalah perandaian dalam hal syariat Allah s.w.t. khususnya, namun tidak menutup kemungkinan mencakup yang lain seperti bangsa, bahasa, dan adat istiadat.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu.
Artinya, bukanlah Allah Ta’ala tidak berkuasa untuk menjadikan syari’at manusia itu satu corak saja, dari Adam sampai zaman Muhammad, sampai hari kiamat. Namun karena manusia tidak hanya diberi insting, namun juga akal, maka diujilah kesanggupan manusia menggunakan akal itu, dalam menyesuaikan hidupnya di alam sekelilingnya, dan dengan ruang dan waktu. Demikiankalah bahwasanya syariat itu menurut sunatulllah dan tidak berdiri di atas ruang hampa.
Demikian maka patutlah kita perhatikan lebih dalam potongan terahir ayat ini yaitu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Di sini kita di perintahkan untuk mengaplikasikan daya nalar dan kemampuan akal kita untuk hal-hal kebajikan yang dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Al-Baqarah ayat 213
"Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus."
Menurut HAMKA, ayat diatas menerangkan bahwa pada hakikatnya manusia adalah satu. Dalam jiwanya ada satu kepercayaan, sejak zaman purbakala bahwa ada Kekuasaan Maha Tinggi atas alam ini. Berbagai usaha telah diperbuat oleh manusia untuk menghubungi Kekuasaan Mutlak itu. Hal percaya kepada Kekuasaan Mutlak adalah fitrah manusia.
Maka Yang Maha Kuasa, mengutus para Nabi dan Rasul dari kalangan manusia itu sendiri, untuk menuntun kepercayaan yang murni dan mengakuinya. Dengan kedatangan para Nabi dan Rasul, kesatuan manusia tadi dipimpin melalui jalannya yang wajar, sehingga benar-benar satu.

"Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran[sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan."

Dalam Surat al-Fathir, ayat 24 diatas, diterangkan bahwa tiap umat yang ada di dunia memiliki Nabi dan Rasul. HAMKA mengatakan bahwa, Tuahan tidak menceritakan semua Nabi-Nabi kepada Rasulullah s.a.w., oleh karena itu tidaklah akan jauh dari kemuningkinan kalau pemimpin-pemimpin rohaiyah yang besar-besar, seperti Lao Tse, Khung Fhu Tse (Konhuchu), Budha Gautama, Zarathusra di Persia, Socrates dari Yunani, dan pengarang pertama Upanishab adalah Nabi-nabi Allah juga, yang diutus kepada umat mereka.
Setiap Nabi mengajarkan tauhid dan kebenaran. Tetapi setalah Nabi-nabi itu datang dan pergi, dan Kitab-kitab telah tinggal ternyata timbul lagi perselisihan. ... tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.
Kitab-kitab sudah banyak, catatanpun ada, tetapi perselisihan timbul juga. Sebabnya ialah karena dengaki, walaupun manusia itu hakikatnya satu, tetapi dalam dirinya tetap saja ada rangsangan-rangsangan hawanafsu yang membawa selisih. Kadang orang mau bersatu semua tetapi semuanya pula ingin memimpin. Semua ingin bersatu, tetapi tidak semua ingin dipimpin. Karena rasa dengaki maka timbullah tipu daya yang bukannya menyatukan mereka, tetapi malah semakin menghancurkan mereka.
Kemudian dapatkah manusia terlepas dari perselisihan ini? Ujung ayat memberikan penegasan: Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.


Surat al-Baqarah ayat 143

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang di tengah dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."
Dalam Tafsirnya HAMKA, menterjemahkan امة وسطا sebagai umat yang di tengah, kemudian menceritakan Islam berada di tengah-tengah agama yang ada pada waktu itu yaitu Yahudi dan Nasrani. Ia menyatakan bahwa agama Yahudi terlalu condong kepada dunia dan melalaikan ahirat, namun sebaliknya agama Nasrani terlalu condong kepada ahirat saja dan melalaikan kehidupan dunia, hal ini terbukti dengan adanya keharusan untuk tidak kawin kepada para pemuka agamanya. Maka adapun posisi Islam adalah berada ditengah-tengah, Islam memperhatikan kehidupan ahirat namun tidak pula lupa akan kehidupan dunia.
HAMKA juga membandingkan antara pola berfikir filsafat Yunani yang lebiih mementingkan akal fikiran (filsafat), dan fikiran yang dipelopori oleh India purba yang mamandan bahwa dunia ini adalah maya atau khayal semata-mata. Sejak dari ajaran Upanisab sampai ajaran Veda, dari Persia dan India, disambung lagi dengan ajaran Budha Gautama, semua lebih mementingkan kebersihan jiwa, sehingga jasmani dipandang sebagai jasmani yang menyusahkan. Sedangkan Islam tidaklah sama seperti ajaran pendahulunya, ia adalah ajaran yang menempuh jalan tengah, menerima hidup di jalan kenyataannya. Percaya kepada ahirat, lalu beramal di dunia ini. Mencari kekayaan untuk membela keadilan, mementingkan kesehatan jasmani dan rohani, karena kesehatan yang satu bertalian dengan yang lain. Mementingkan fikiran tetapi dengan menguatkan ibadat untuk menghaluskan perasaan. Mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, karena kekayaan adalah alat untuk berbuat baik. Menjadi khalifah Allah di muka bumi, untuk bekal menuju ahirat. Karena kelak akan dipertanggungjawabkan oleh Allah.
Pertengahan ayat sampai ahirnya menceritakan tentang peralihan kiblat dari Baitul Maqis ke Ka’bah di Makah. Maka dengan adanya peristiwa peralihan kiblat umat Isalm dan turunnya ayat ini, diujilah siapa yang benar-benar taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan siapa yang termasuk orang-orang yang munafik.


C. Penutup
Demikianlah bahwa umat merupakan, kumpulan orang, dimana setiap inidividu sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing saling membantu agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan, atas dasar kepemimpinan yang sama. Berbeda dengan Syar’ati yang mengeluarkan definisi umat tesebut untuk mengukuhkan ideologi imamah dalam syi’ah, bagi penulis kepemimpinan yang sebenarnya yang harus dipedomani oleh Islam adalah petunjuk-petunjuk yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah s.a.w., karena dengan mengikuti petunjuk itu kita layak disebut sebagai umat Islam.
Dalam al-Qur’an dan Sunnah banyak sekali diterangkan bagaimana di memanajeman umat agar menjadi umat yang tangguh, dan agaknya masih banyak hal-hal yang belum termuat dalam tulisan ini bisa dikaji lebih lanjut.




Daftar Bacaan

Al-Qur’an for M.S. Word
Audah, Ali, Konkordansi al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997).
HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz 2, (Jakarta: Yayasan Nurulislam, 1984).
HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz 8, (Jakarta: Yayasan Nurulislam, 1984).
Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, cet. 2, 2002).
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, cet. 3, 1996).